Alasan Joseph Stalin Coba Basmi Agama-agama di Uni Soviet

Alasan Joseph Stalin Coba Basmi Agama-agama di Uni Soviet
Foto pemimpin agama disidang di Uni Soviet. (Istimewa)
JEVPEDIA.COM - Saat kepemimpinan tirani dalam masa pemerintahan Komunis yang dimulai di Rusia pada 1917, agama-agama yang ada dipandang sebagai pengalang bagi masyarakat sosialis yang berkembang. Seperti yang dinyatakan Karl Marx, komunisme dimulai saat ateisme atau ketidakpercayaan terhadap adanya Sang Pencipta atau Tuhan dimulai. Sebagai pemimpin kedua Uni Soviet, Joseph Stalin mencoba memaksakan ateisme militan di Uni Soviet yang kini bernama Rusia. Pria sosialis yang baru, klaim Stalin, adalah seorang ateis, bebas dari rantai agama yang telah mengikatnya pada penindasan kelas atau kasta. Sehingga, dari 1928 hingga Perang Dunia Kedua, diktator totaliter ini menutup gereja, sinagoge, dan masjid, serta memerintahkan pembunuhan dan pemenjaraan ribuan pemimpin agama. Itu semua dilakukan dalam upaya menghilangkan konsep terkait Tuhan. Menurut sejarawan Steven Merritt Miner, penulis ‘Stalin’s Holy War: Religion, Nationalism, and Alliance Politics’, ia melihat hal tersebut sebagai cara untuk menyingkirkan masa lalu yang menahan orang, dan berbaris menuju masa depan sains dan kemajuan. Seperti kebanyakan dari apa yang dilakukan Stalin, ia mempercepat kekerasan periode ‘Leninisme’. Sejatinya, pada tingkat pribadi Stalin sangat mengenal dan dekat dengan gereja. Sebagai seorang pemuda di negara asalnya, Georgia, ia adalah orang yang pertama kali dikeluarkan dari satu seminari dan kemudian dipaksa meninggalkan yang lain, setelah ditangkap karena memiliki lektur ilegal. Selanjutnya, pada 1928 Stalin meluncurkan lektur ‘Rencana Lima Tahun Tanpa Tuhan’. Putusannya memberi sel-sel lokal organisasi anti agama, Liga Ateis Militan, dan alat baru untuk menghancurkan agama. Gereja-gereja ditutup dan dilucuti dari properti mereka. Para pemimpin gereja dipenjarakan dan tidak sedikit di antara mereka dieksekusi dengan alasan anti revolusi. Beberapa klerus yang tersisa digantikan mereka yang dianggap bersimpati pada rezim. Stalin menjadikan gereja lebih ‘ompong’, dan tidak lagi berlaku sebagai titik fokus yang memungkinkan perbedaan pendapat atau kontra revolusi seperti yang berlaku di Vatikan dulu. Pada saat yang sama, gereja, sinagoge, dan masjid yang dihancurkan, diubah menjadi ‘museum ateisme’ anti agama. Di sini, diorama kekejaman ulama duduk di samping penjelasan tajam tentang fenomena ilmiah. Masyarakat umum tampaknya tidak terlalu terpengaruh pameran-pameran ini kendati mereka menikmati atraksi itu sendiri. Sementara itu, dikutip dari History, seperti dilansir dari kumparancom, Sabtu 17 Juli 2021, Liga Ateis Militan yang secara nominal independen menyebarkan publikasi anti agama, mengorganisir kuliah dan demonstrasi, dan membantu propaganda ateis masuk ke hampir setiap elemen kehidupan sosialis. Popularitas publikasi ini tidak selalu menunjukkan ateisme menang. Bahkan sejarawan Steven Merritt Miner mengatakan: “Beberapa orang percaya membeli publikasi ateis karena saat itulah mereka mengetahui apa yang sedang terjadi”. Menurutnya, Stalin tampaknya memiliki keyakinan mutlak dalam perang anti agamanya. Sehingga, dengan tegas Minner mengatakan: “Saya tidak ragu bahwa dia adalah seorang ateis yang murni”. Minner menambahkan, Stalin hanya berpikir agama adalah barang dan omong kosong’ “Ini adalah cara Stalin untuk membuang debu ke mata orang sehingga dapat mengendalikan mereka,” imbuhnya. Setelah Perang Dunia Kedua usai, kampanye anti agama terus berlangsung selama beberapa dekade, dengan melarang dan memberangus Alkitab. Namun, pada 1987, New York Times melaporkan, para pejabat Uni Soviet mulai mengakui mereka mungkin kalah dalam pertempuran melawan agama. sumber terkini.id

Berita Lainnya

Index