4 Hal yang Bisa Dilakukan Sembari Ngecas HP

4 Hal yang Bisa Dilakukan Sembari Ngecas HP

Di suatu minggu pagi yang cerah saya terbangun dan seolah terlahir kembali. Sorot matahari yang menembus jendela beriringan dengan kesadaran yang mulai terisi. Tidak ada beban pekerjaan di hari ini, saya tak harus bergegas menyiapkan sesuatu. Hanya perlu beranjak dari tempat tidur dengan santai dan merasakan tubuh yang penuh kedamaian. 

Enam belas menit berlalu, perasaan itu sedikit terusik. Karena adik saya yang menjelang puber itu juga terbangun, dengan muka yang masam penuh kekesalan. Ngomel-ngomel karena mendapati ponselnya yang tidak terhubung dengan pengisi daya. “Arrrsshh, durung dicolokno! Piye si.. Uhh!”. Tidak jelas siapa yang dia disalahkan. Meskipun jika dijadikan sebuah pertanyaan dalam kuis, 1000% kita bisa menjawabnya dengan tepat siapa yang pantas disalahkan. 

Pada dasarnya ini bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Namun, saya ingin sedikit menguliknya. Kenapa ini bisa terjadi, selain karena faktor kecanduan. 

Adik saya lahir tahun 2008, tak berbeda dengan mayoritas Generasi Z yang sudah sunatullah tidak bisa lepas dari handphone. Ini pun kita belum berbicara tentang Generasi Alfa yang lahir mak-ceprot bisa langsung take a selfie... mak-cepret.

Generasi Zilenial, apa itu? 

Saya pun sebenarnya masih termasuk generasi Z. Tapi lahir di tahun sebelum 2000 membuat saya lebih dekat dengan Generasi Milenial. Identitas Zilenial nampaknya lebih cocok saya sematkan. Dibilang gaptek nggak juga dan saya menganggap handphone sebagai barang yang penting. Namun masa kecil dan masa transisi sebagai remaja masih didominasi kegiatan yang membutuhkan komunikasi langsung dan energi fisik yang besar. 

Mengajak salah satu teman untuk bermain misalnya , tidak cukup hanya dengan menunggu konfirmasinya via whatsapp. Kami harus berteriak di depan rumahnya langsung, lalu menunggu jawaban (konfirmasi) dari si anak itu sendiri maupun Emak-Bapaknya, sambil memastikan sandalnya ada di depan teras dan sepedanya terparkir di halaman atau tidak. 

Di masa itu, kami benar-benar memiliki banyak referensi kegiatan seru yang bisa dilakukan untuk menghabiskan hari. Meskipun klaim ini sangat mudah dimentahi oleh adik-adik yang baginya mabar itu segalanya

Sebagai seorang Zilenial, saya punya semacam “panggilan” (meskipun tak lebih dari saya buat-buat sendiri) untuk menjembatani hal-hal baik dari Generasi Milenial kepada Gen Z. Alih-alih memperdebatkan keduanya. Generasi Milenial adalah generasi yang bangga dengan segala nostalgia dan aktivitas dunia nyatanya yang masih mendominasi. Sedangkan Gen Z adalah generasi yang mengelu-elukan trend yang ia ikuti dan segala informasi terbaru di dunia ada dalam genggamannya. Gen Z juga identik dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out). Bagi mereka hukumnya haram ketinggalan informasi dan apapun yang sedang populer

Pola yang dihasilkan oleh FOMO terbukti juga menjangkiti adik sayaPengennya bangun tidur bisa langsung gas main game, karena mungkin ada semacam tuntutan seperti nggak mau ketinggalan poin atau untuk mengejar rank. Karena teman-temannya juga demikian. Pantas saja, begitu mudahnya adik saya marah dengan kasus seperti tadi, hanya karena ponselnya belum terisi sama sekali dan belum siap dimainkan saat dia terbangun. Payah ya mereka. Tapi sampai di sini harap maklum. 

Perlunya sikap adaptif, dengan atau tidaknya teknologi 

Sebenarnya saya tidak jarang mengalami hal serupa, mungkin kalian (orang-orang dewasa) juga sama. Memang ada momen-momen krusial yang membuat baterai pada ponsel begitu berharga. Terutama jika itu menyangkut pekerjaan atau urusan-urusan penting lainnya. Di saat itu pula, ponsel jadi sangat terlihat nilai fungsinya

Cuma, kalau keadaannya benar-benar di saat luang atau libur. Semestinya, lowbat pada ponsel adalah kesempatan untuk mengeksplorasi waktu dengan aktivitas yang lebih organik. Ada semacam idealisasi yang muncul, ketika ponsel saya letakkan di meja dan terhubung dengan pengisi daya. Pikiran merekonstruksi ulang menuju mode nature-nya saya sebagai manusia. Meskipun hanya sementara, karena katakanlah 1-2 jam lagi, baterai ponsel sudah 100%. Tapi ini jelas lebih baik dibanding mencoba tetap bermain ponsel sambil ngecas. 

Sembari menunggu baterai penuh. Berikut ini ada beberapa hal berfaedah yang bisa dilakukan. 

#1. Pergi keluar 

Sederhana saja, buka pintu, melangkah keluar. Kita punya kaki yang juga perlu diberdayakan. Entah itu untuk berjalan kaki, lari-lari kecil, atau mengayuh sepeda. Pergi dari rumah dalam radius 1-3 km tanpa membawa ponsel tidak akan membunuh kita. Malahan melatih kita menjadi lebih hidup karena jadi lebih tahu dan peka terhadap keadaan sekitar. Menyapa dan disapa seseorang yang kita temui di jalan lebih terasa nyaman dibanding nge-DM artis yang ujung-ujungnya nggak dibales. Melihat rumput tetangga yang lebih hijau, jujur saja, lebih sehat di mata dibanding melihat rumput di Pegunungan Swiss lewat layar HP. Secantik apapun itu, kalau kelamaan bisa bikin mata pedes juga. 

#2. Baca buku

Memang sekarang sudah ada e-book bahkan ada audio-book yang tinggal didengerinKita juga bisa meminjam buku online di perpusnas. Tapi inilah alasan mengapa saya mempertahankan buku fisik sebagai barang yang penting. Kultur ini diturunkan oleh Generasi Milenial yang juga diturunkan dari Generasi X dan seterusnya. Karena memang masih layak dan akan selalu layak dijaga tradisinya.

Secara segmented, buku fisik menjadi ruang alternatif agar bisa sejenak lepas dari layar ponsel. Ramah di mata pula. Buku juga memberikan akurasi dan detail informasi yang lebih, dibanding konten tiktok maupun reels yang ringan namun hanya sepotong dan rawan mis-interpretasi. Buku memberikan banyak wawasan dan melebarkan sudut pandang kita. 

Banyaknya buku yang telah dibaca juga bisa lhoh menjadi amunisi untuk beradu pendapat di kolom komentar ketika aktif di medsos. Meskipun yang saya rasakan, justru semakin banyak membaca malah semakin menahan saya berkomentar dengan sembarangan. Bahkan, malas berkomentar. Memang kita bisa berkomentar bijak, tapi seringkali di beberapa kasus malah lebih bijak tidak melontarkan komentar apapun. 

#3. Menulis 

Menulis itu selalu membuat diri saya lebih baik (masih dengan cara tradisional menggunakan pena dan kertas). Mulai dari menulis apa saja yang sudah saya miliki dan pantas disyukuri sampai menulis daftar apa yang harus dilakukan besuk. Menulis membantu saya merilis segala sesuatu yang ada di kepala dan membuat perasaan menjadi lebih lega. 

Utamanya, menulis itu melatih kita menyusun kata-per-kata menjadi kalimat, kalimat-per-kalimat menjadi paragraf dan seterusnya. Membantu kita mensimulasi bagaimana kita akan ngobrol sama seseorang atau bahkan berorasi di depan umum. Meminimalisir orang-orang mengumpat “Lam—be—mu iku!”, karena saking tidak dijaga dan tidak beraturannya dirimu kalau ngomong. 

#4. Bersih-bersih 

Kebersihan itu pangkal dari banyak hal-hal positif: seperti kesehatan, kenyamanan, bahkan mendukung langkah spiritual. 

Tidak ada urutan yang pasti dalam melakukannya , bisa dimulai dari kebersihan badan dengan mandi. Maupun membersihkan ruangan dan merapikannya. 

Bayangkan, ruangan yang kita tempati melegakan, badan kita terasa segar. Di samping itu ponsel yang sedang terhubung dengan charger, sejenak menjauhkan kita dari sampah informasi. Sempurna bukan?

Berita Lainnya

Index