Sarjana Kelapa

Sarjana Kelapa

“Pakde, kapan nganyut kelapanya?” Terdengar pekikan suara lelaki dariujung jalan.

“malam nanti no, biar besok sore bisa naikkan kelapanya." Sahut pak Suratman dari dalam rumahnya.

Malam hari dipilih pak Suratman untuk melakukan aktifitas yang sebagian masyarakat di daerahnya, Dendan Simbar  menyebutnya dengan"nganyut". Apa itu nganyut? yaitu aktifitas melangsir/menghanyutkan kelapa melalui parit-parit kecil dari kebun kelapa ketempat pengupasan kelapa.Tempat pengupasan kelapa ini biasanya adalah tanah lapang yang ada ditepi parit besar atau parit utama dimana akan dilalui oleh kapal besar untuk mengangkutnya ke pabrik pengolahan kelapa.

Lalu mengapa harus malam hari? Pak Suratman dan petani di Dendan harus pandai melihat dan memperkirakan arus air, antara pasang dan surut. Mengapa? Ya karena mereka akan berpacu dengan waktu dan kondisi air untuk bisa mengeluarkan buah kelapa dari kebun mereka. Terlebih jika kebun mereka berada jauh dibelakang sana untuk bisa sampai ditempat pengupasan atau penimbunan  kelapa. Dingin? jangan ditanya lagi. Sejak pukul 11 lewat 20 malam pak Suratman sudah turun dari rumahnya yang berbentuk panggung menyusuri malam berbekal lampu senter dikepala dan sebotol kopi juga tak lupa rokok sampoerna kretek kegemarannya. Selama ini ia harus menghemat batang demi batang hisapan rokoknya demi kuliah anak perempuannya tercinta, Wati namanya. Tak jarang jika uangnya telah menipis, ia harus mengganti isapan rokoknya dengan tembakau lintingan biasa.  

Ahh tak mengapa, sesapan lintingan itu tetap terasa nikmat apalagi jika sembari membayangkan akan wisuda Wati mengenakan jubah hitam bertopikan toga idamannya dulu. Itu adalah pecut paling dahsyat yang selalu mengantarkannya sampai disebidang kebun miliknya. 8 baris kesamping dan 30 baris kebelakang, sudah hampir 25 tahun barisan pohon kelapa ini menemani hari-hari pak Surat. Ia ingat betul tempo dulu bagaimana ia membabat lahan ini bersama istrinya, menanam, menjaga dan merawat hingga pohon-pohon kelapa ini tumbuh begitu kokoh. Bagaimana mungkin ia lupa akan semua itu, bertolak dari tanah jawa meninggalkan keluarga besarnya disana. Lalu pergi berlayar dan sampailah dipulau ini, semak belukar yang begitu tinggi bahkan dua kali lebih tinggi dari badan pak Surat. Membangun pondok yang sangat sederhana dan berbekal makanan juga minuman seadanya. Bertahan hidup dengan kondisi yang kerap mengucurkan air mata, hingga kini ia begitu bangga menatap perjuangan kerasnya dulu pada barisan pohon-pohon kelapa yang memberikan buah-buah terbaik hasil dari ketekunannya.

Pak Surat mulai menurunkan butir demi butir kelapa yg tersisa kedalam parit. Hari sebelumnya ia sudah menurunkan sebagian kelapa ini. Dan bila waktunya tiba pak Surat juga akan menyebur kedalam parit itu untuk menggiring buah-buah kelapa keparit yg lebih besar. Dinginnya air dan bisingnya nyamuk malam sudah jadi teman setia pak Surat setiap masa “nganyut" tiba. Aktifitas ini membutuhkan waktu yang tak sebentar, apalagi jika letak kebun yang jauh berada diujung parit. Dan sekali lagi pasang surut air sangat bertakhta disini. Setelah melewati malam yang dingin, sampai juga buah kelapa ini ke hulu sungai, tempat dimana nantinya kelapa ini dinaikkan kedaratan untuk selanjutnya dilakukan proses “pengupasan". Perjuangan pak Surat belum berakhir, ia dibantu oleh teman-teman petani kelapa lainnya akan bergotong royong untuk membantu menaikkan kelapa ini.

Menggunakan crane? Ooh tentu tidak, mereka secara manual menggunakan dua tangan yang sudah keriput menunjukkan goresan urat-uratitu untuk melempar kelapa dari dalam parit yang mulai surut keatas daratan. Ya harus dalam kondisi air yang surut, sebab apabila pasang mereka akan tenggelam dengan kedalaman air parit yang ada. Bisa dibayangkan betapa kuatnya tangan-tangan petani kelapa ini? Jika ada 5000 kelapa harus berapa kali pak Surat dan teman-teman melempar kelapa tersebut? Setiap lemparannya pak Surat dan petani lainnya hanya bisa melempar paling banyak 2 butir kelapa. Itulah mengapa kerjasama dan bantuan dari teman-teman sesama petani dibutuhkan. Tidak dibayar dengan uang cukup hanya dengan secangkir teh panas, roti kacang yang dibeli diwarung kak Ondeng dan tak ketinggalan sekotak atau dua kotak rokok untuk disesap bersama.

Sayangnya perjalananmu belum selesai wahai kelapa. Proses menaikkan kelapa pun membutuhkan waktu yang tak sebentar bergantung pada jumlah kelapa dan tenaga bantuan yang melemparnya. Sembari orang yang didalam parit melempar kelapa, juga dibutuhkan orang lain lagi diatas. Lalu mengapa mereka berada diatas? orang yang diatas tanah lapang bertugas untuk mengatur kelapa-kelapa lemparan dari bawah agar tidak menumpuk ditepian parit saja dan agar seluruh kelapa-kelapa tersebut tersusun pada satu gundukan agar lebih dikenali kelapa siapa yang ada dilapak tersebut. Dalam satu tanah lapang tempat pengupasan kelapa biasanya diisi oleh dua atau lebih pemilik kelapa. Ini juga disesuaikan dengan banyaknya jumlah kelapa dan luas tidaknya lahan pengupasan kelapa. kelapa itu membumbung tinggi laksana gunung, besar dan menawan. Dari butir-butir kelapa inilah para petani menggantungkan hidupnya, memberi makan anak istrinya, menyekolahkan anak-anaknya sekaligus menjadi investasi untuk masa tua mereka.

"tutt .. Tutt" dering ponsel pak Surat berbunyi. Bu Iyem yang tidak terlalu familiar menggunakan ponsel langsung membawa ponselnya kepada pak Surat. Bukan tanpa alasan, Bu Iyem memang tidak pandai menggunakan ponsel walaupun sudah berkali-kali diajari oleh pak Surat.

"Haloo iya nduk piye kabare" pertanyaan yang selalu dilontarkan ketika mengangkat telepon dari anak perempuan semata wayangnya.

"sehat pak, alhamdulillah. Bapak sama ibu apa kabarnya? Oh iya pak uang semesteran Wati 2 minggu lagi sampai ya pak. Tapi kalau bapak belum ada uang ndak apa-apa pak" begitulah kira kira percakapan sederhana antara seorang ayah dan anaknya.

Percakapan itu tak pernah lebih dari 10 menit jika berbicara dengan pak Surat. Lain halnya jika sudah bersama ibu Iyem Wati bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkelakar. Yaa pak Surat memang tidak pandai mengolah kata dan bercerita banyak dengan orang-orang terlebih kepada anak gadisnya itu. Singkat dan padat namun sarat akan kasih sayang dan perjuangan. Ya pak Surat dan Wati memang tidak pernah berleyeh-leyeh manja atau pun saling mengadu pilu. Cenderung kaku dan to the point. Tapi keseriusan pak surat dalam mencarikan rupiah demi rupiah untuk Wati sungguh bukti betapa kuatnya kasih sayang seoarang ayah.

Tak pernah ia membiarkan anaknya kekurangan terutama soal pendidikan. Harapannya Wati dapat mengenyam sekolah yang lebih tinggi dibanding orang tuanya. Karena itulah Ia begitu fokus pada pendidikan dua anak tersayangnya. Ia sudah berhasil menyekolahkan abang wati hingga kebangku SLTA, namun sayang ia gagal mengantarkannya kejenjang yg lebih tinggi. Karena musibah banjir masa itu yang membuat kebunnya gagal panen total bahkan hampir mati. Syukurnya pak Surat juga petani disana bisa bangkit dari musibah bersama pada masa itu.

Mereka mempelajari banyak hal untuk bisa mengantisipasi kejadian-kejadian serupa. Pemikiran berbasis resiko pun dikenalkan dan digalakkan untuk menjadi pedoman berkehidupan antar sesama petani kelapa. karena daerah tempat pak Surat yang berada dipesisir dan banyak sekali terdapat parit-parit, Sangat mudah untuk air laut terutama ketika hujan deras mengguyur akan  meluap dan masuk ke kebun milik petani. Karena itulah dibutuhkan tanggul tinggi untuk mengatasi kejadian seperti ini. Awalnya tanggul ini sudah dibuat sejak awal dibukanya lahan-lahan untuk perkebunan kelapa. Akan tetapi tanggul tersebut masih menggunakan tanggul sederhana yang tidak terlalu kuat mengatur arus air. setelah musibah luapan air besar itu petani beserta pemerintah daerah setempat dibantu oleh pihak-pihak terkait mulai mempelajari untuk membangun tanggul permanen yang kokoh. Tanggul ini menggunakan konsep buka tutup pintu air yang sistemnya selalu diawasi oleh kepala parit dibantu oleh warga setempat. Tidak disangka pembangunan tanggul ini benar-benar berdampak besar bagi petani-petani kelapa disini, volume debit air bisa diatur dan proses pengeluaran kelapa juga menjadi lebih mudah.

​Tiba-tiba pak surat tersentak, ia mulai menghitung perkiraan kelapanya keluar/bisa selesai dengan tenggat waktu pembayaran semester anaknya."aku harus selesai sebelum semesteran wati sampai" begitulah tekad kuat pak Surat. Dilangkahkan kakinya ketanah lapang dimana kelapanya harus dikupas. Ia menaksir jumlah kelapanya trip ini sekitar 8000 sampai 9000 butir. Dengan tenaganya yang tak lagi muda ia takkan mampu mengupas habis kelapa-kelapa ini dalam waktu seminggu. Seketika ia pun berpikir untuk mengambil jasa upah kupas kelapa atau yang biasa disebut dengan"pengopek kelapa". Ini adalah salah satu profesi baru yang muncul seiring dengan terus berkembangnya perkebunan kelapa bulat di Dendan. Pengopek kelapa biasanya dilakoni oleh perantau yang berasal dari luar daerah ini. Mereka adalah pendatang yang ingin bekerja dan belum memiliki lahan. Upah yang biasanya diberikan untuk setiap butir kelapanya adalah Rp 100. Untuk pengopek pemula biasanya mereka bisa mendapat upah 50 hingga 100 ribu per hari. Bagi yang memiliki buah kelapa yang banyak bisa mengambil upah kopekan hingga beberapa orang agar kelapanya cepat dikupas dan tidak busuk karena terlalu lama dalam tumpukan.

Tak menunggu lama, pak Surat bergegas menyambangi kediaman keluarga pak Udin. Pak Udin berasal dari desa Teluk Bayur. Ia sudah hampir 3 tahun merantau di Dendan. Awalnya ia hanya ikut-ikutan datang kesini karena ajakan temannya. Tak lama setelah itu ia pun memboyong serta anak istrinya untuk membangun gubuk dan menetap disini. Harapan akan hidup yang lebih layak menjadi alasan utama keluarga pak Udin pindah. Pak udin memiliki 5 anak diantaranya 3 perempuan dan 2 laki-laki. Dua anak laki-lakinya berusia 17 dan 14 tahun juga harus merasakan kerasnya mencari rupiah dari buah kelapa.

Tapi apa lagi yang bisa dikerjakan mereka? kira-kira begitulah jika ditanya mengapa harus memilih pekerjaan ini. Ketiadaan ijazah dan skill yang bisa digunakan untuk bekerja yang lebih baik menjadi hambatan bagi 2 remaja ini. Begitupun dengan kondisi keuangan orang tua mereka yang tidak memadai untuk melanjutkan sekolah, hingga mereka harus terhenti dibangku kelas 4 SD.

Kemampuan mengopek kelapa mereka dapatkan dari belajar otodidak sejak ikut bapak mereka bekerja. Tangan-tangan mungil mereka sudah cukup terlatih untuk mengguyur ratusan bahkan ribuan kelapa setiap harinya.  Dari sanalah dapur rumah mereka mengepul dan harapan untuk memberikan sekolah yang layak untuk 2 adik mereka agar tak bernasib sama seperti mereka.  Kedatangan pak surat langsung disambut baik oleh pak Udin yang memang sudah selesai dengan kopekannya ditempat lain. Pak udin dan kedua anaknya yang akan turun untuk menyelesaikan kupasan kelapa pak Surat agar bisa segera dijual. keesokan harinya dimulailah pertempuran pak Surat, pak Udin dan kedua anaknya melawan tumpukan kelapa diarea pengupasan. Baji sudah tertancap, jangan tanya tajamnya. Jika lewat sedikit bukan serabut kelapa yang akan terkupas tapi perut pengopeknyalah yang akan tercabik. Alas kopek yang diselendangkan dipinggang dibuat dari karung beras yang dilapis dengan baju bekas yang diikat dengan tali. Ini untuk menahan gesekan antara paha kebawah dengan kelapa yang akan dikopek menggunakan baji.

​Ketika matahari mulai terik menyingsing mereka mulai menancapkan pelepah kelapa sebagai tameng untuk menghindari paparan sinar matahari. Dua batang pelepah kelapa yang ditancap sejajar sudah cukup menjadi peneduh untuk sekedar berlindung dari sengat matahari. Setelah beberapa saat mereka pun akhirnya istirahat, hanya sekedar untuk meluruskan pinggang sembari minum air putih dan menyesap sebatang hingga dua batang rokok. Memang menjadi satu hal yang memilukan Ketika anak-anak usia dini yang ikut mengopek kelapa juga sudah berkecimpung dengan yang namanya rokok. Beruntung hari ini ibu Iyem membuatkan ubi goreng dan teh hangat yang diantarkannya langsung ketanah lapang tersebut. ini bisa menjadi penambah semangat pekerjaan mereka hari ini.

Ketika terik mulai menyingsing mereka bersiap untuk pulang kerumah dan beristirahat. Menyantap makan siang dan tak lupa kewajiban sebagai seorang muslim pun harus ditunaikan. Tidur siang beberapa saat juga diperlukan untuk membantu merehatkan badan dan mengumpulkan energi untuk pengupasan selanjutnya. Setelah matahari mulai meninggalkan titik tertingginya, mereka pun bergegas ketanah lapang untuk kembali menghajar ribuan kelapa yang ada. Dua hari dua malam pertempuran ini terjadi dan setiap butir kelapa yang sudah selesai ditumpuk menjadi satu dan ditutup dengan alas terpal. "alhamdulillah, rampung sudah" begitulah batin pak Surat berucap. Rasa lega yang tiada tara menguap Ketika ia mendapati kelapanya sudah terkupas rapi dan siap ditukarkan dengan lembaran rupiah. Semoga waktu yang ada masih bisa ia kejar untuk bisa mengirimkan uang semester Wati kali ini. Dan tak terasa garis senyum pak Surat merekah naik menandakan kebahagiaan yang sedang pak Surat rasakan.

​"pak, bahan dirumah sudah habis. Apa kita ambil lagi diwarung kak Ondeng" bu Iyem seketika membuyarkan lamunan pak Surat.

"iya buk, ambil diwarung kak Ondeng saja. Bilang saja kelapanya sudah mau dimuat. Setelah terima uangnya, nanti dibayar semua utang-utangnya" jelas pak Surat.

​Bu Iyem mengangguk dengan tatapan teduh. Begitulah kehidupan disana, akses tempat yang jauh dari perkotaan membuat distribusi bahan-bahan pangan menjadi susah dan lama. Akses hanya bisa ditemput dengan menggunakan kendaraan laut seperti kapal/speed boat. Jarak yang ditempuh dari tempat terdekat yaitu Guntung saja memakan waktu sekitar satu jam setengah menggunakan speed boat seharga 100 ribu per sekali pergi. Jika ke Tembilahan yang merupakan ibukota kabupaten, jarak dan biayanya lebih mahal lagi. Itu bila menggunakan speed boat, lain cerita lagi jika menggunakan kapal motor biasa. Ini bisa menghabiskan waktu hingga seharian.

Menjadi pemilik warung di Dendan ini juga harus memiliki modal dan kesabaran yang ekstra. Mengapa demikian? Karena seperti yang sudah dijelaskan tadi dimana membutuhkan biaya dan waktu yang lama untuk membawa barang-barang tersebut sampai ke Dendan. Biasanya pemilik warung adalah mereka yang punya kapal motor/speed boat sendiri/toke kelapa. Hampir semua warga disini bergantung pada warung-warung ini. Karena hanya dari warung inilah mereka bisa mendapatkan kebutuhan bahan pangan dan lain sebagainya.

Daerah ini hanya didatangi oleh pedagang keliling atau yang biasa disebut "pembelok"  satu kali dalam seminggu yaitu pada hari selasa. Itupun diadakannya pasar kaget ini hanya di Simbar. Jangan heran, antara Simbar dan Dendan adalah dua nama desa yang berbeda, namun masih dalam satu pulau yang sama. Jarak dari dendan ke simbar membutuhkan waktu sekitar 45 menit berjalan kaki. Jarak ini diukur dari jalan setapak besar yang terdekat  antara  Dendan dan Simbar. Warga disini sudah biasa pergi kepasar berjalan kaki bersama-sama, walaupun ada juga warga yang menggunakan sepeda motor. Yang menyedihkan apabila hari selasa itu turun hujan. Maka langkah kaki mereka akan lebih berat untuk sampai kepasar. Ini tak lepas dari jalanan disana yang masih beralas tanah. Jalan didendan memang belum diaspal. Hanya ada satu ruas jalan yang diaspal itupun tidak sampai keujung desa. Warga disana hanya mengandalkan kobelko yang mengeruk tanah untuk membuat jalan lebih tinggi dan lebih padat sehingga lebih mudah dilalui. Dan bila hujan turun tanah beceklah yang akan menumpuk disandal-sandal mereka.

​Oh iya dan untuk listrik, Dendan mungkin jadi salah satu daerah dengan kondisi yang belum memadai. Sudah lama sekali sejak pak Surat sampai di daerah ini ia belum menggunakan listrik. Baru sekitar 2 tahunan kebelakang ini listrik masuk, itupun hanya di beberapa parit terdepan dan belum sampai dirumah pak Surat. Menilik ke pemilik warung tadi, mereka juga harus bersiap dengan rentetan hutang-hutang dari warga disana. Sudah menjadi sistem disana apabila mereka akan mengambil barang dulu baru kemudian dibayar. Pembayaran akan dilakukan bila pekerjaan mereka sudah selesai atau sudah panen. Ini karena petani kelapa tidak mendapat gaji setiap bulan, melainkan pendapatan mereka didapat dari setiap trip kelapa yang dipanen. Inilah yang menyebabkan mereka harus mengambil hutangan barang terlebih dahulu baru kemudian dibayarkan. Jika harga kelapa sedang tinggi dan hasil panen juga mencukupi. Petani kelapa akan merasa lebih lapang untuk menyisipkan hasil kelapanya menjadi tabungan. Namun yang menyedihkan adalah ketika harga kelapa sedang turun, maka semangat kerja petani pun sudah tidak karuan lagi. Bahkan kadang mereka sudah panen tapi hasil yang didapat malah tidak mencukupi sama sekali. Itulah lika liku petani kelapa yang berharap dari tiap butir kelapa untuk kehidupan yang lebih baik.

​Setelah selesai dikupas, kelapa itu akhirnya diangkut atau dimuat ke atas kapal motor. Tumpukan kelapa itu pun sudah berpindah semua dari tanah lapang ke atas kapal. Kapal itu pun bersiap melaju membawa butir-butir kelapa kepabrik kelapa yang sudah tidak asing namanya. Ialah PT. Pulau Sambu Guntung, yang merupakan perusahaan kelapa terbesar yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. Perusahaan ini sudah berdiri sejak tahun 1967 dan terus mengepakkan sayapnya hingga kini sebagai pelopor utama produk berbahan dasar kelapa bulat. Produk-produk olahannya yaitu minyak kelapa, santan dan nata de coco dengan merk “KARA”. Setidaknya inilah yang diketahui oleh banyak petani kelapa disini.

Dulu pak Surat harus mengantarkan kelapanya hingga sampai ke pabrik SAMBU yang ada di Guntung. Paling cepat biasanya membutuhkan waktu satu hari satu malam. Beruntung bila antrian bongkar kelapa yang tidak terlalu jauh sehingga pak Surat bisa pulang kerumah dengan cepat. Namun bila antrian bongkar kelapa yang jauh dibelakang, pak Surat bisa membutuhkan waktu 3 sampai 5 hari untuk bisa pulang kerumah.

Syukurnya saat ini SAMBU sudah memiliki program yang memudahkan petani dalam menjual hasil panennya yaitu dengan adanya“pancang”. Pancang ini adalah bagian dari program SAMBU dimana petani bisa menjual kelapa mereka dipancang-pancang terdekat yang ada didaerah mereka. Harga jual yang diberikan juga sama dengan menjual ke pabrik langsung. Ini bertujuan untuk memangkas biaya transportasi yang relatif lebih besar bila diantar langsung kepabrik yang berada di Guntung. Selain itu program ini juga untuk menghindarkan petani dari pembeli liar yang ada didaerah yang suka memainkan harga. Walau begitu pilihan tetap berada ditangan para petani, apakah mereka mau menjual kelapa mereka di pancang SAMBU atau mau mengantarkan langsung ke pabrik SAMBU.

Pak Surat pun turut merasakan imbas dari program ini. Sudah 22 tahun ia menjual hasil kebunnya ke SAMBU dan ia merasa terbantu dengan adanya program pancang ini. Dimana ia bisa menjual kelapanya dengan lebih cepat tanpa harus menunggu waktu yang lebih lama. Kebetulan pancang SAMBU ini ada didaerahnya letaknya hanya selisih beberapa parit.

Akhirnya waktu yang dinanti-nantikan petani kelapa termasuk pak Surat pun tiba. Setelah sampai dipancang dan dilakukan proses penimbangan, pak Surat akhirnya mendapatkan bayaran atas buah hasil kerjakerasnya. Lembaran merah diselipi warna biru ada digenggamannya. Rasa Lelah dan letih yang sedari kemarin merasukinya seakan sirna. Harapan baru muncul Ketika menggenggam lembaran uang tersebut. Bayangan pertama yang terlintas adalah wajah anak perempuan tercintanya, Wati.

Tak sabar rasanya pak Surat untuk pergi ke Simbar mengirimkan uang untuk anaknya. Yaa karena hanya di Simbar ia bisa menemukan agen BRI Link, sementara di Dendan itu tidak ada. Pak Surat memang selalu mendahulukan kepentingan sekolah Wati diatas semua kebutuhannya dan kebutuhan dirumah. Baginya sekolah Wati adalah harapan, harapan yang harus ia perjuangkan. Harapan yang akan membawa Wati pada kehidupanyang lebih baik daripada kehidupan orang tuanya. Juga impian terpendam pak Surat pada cita-citanya tempo dulu yang tak akan pernah sampai.

Lembar demi lembar ia serahkan pada petugas BRI Link, Mega namanya. Mega sudah paham betul kemana tujuan dari pak Surat mengirimkan uangnya, sehingga ia tidak perlu lagi meminta nomor rekening tujuan pengiriman. Dari tatapan pak Surat sudah mengisyaratkan akan nama“Wati” didalamnya. Setelah transaksi selesai, pak Surat pun langsung menghubungi Wati.

“ti, uangnya sudah bapak kirim ya nak, baik-baik sekolahnya ya ti, kalau ada apa-apa cepat kabarin bapak yo” begitulah kalimat pamungkas pak Surat. Ia begitu bangga bisa mengeluarkan kalimat tersebut.

“iya pak, alhamdulillah. Terima kasih ya pak. Doakan wati disini, bapak sama ibu sehat-sehat ya disana” jawab Wati senang sembari menahan haru.

Betapa tidak, wati tahu bagaimana besar perjuangan bapak dan ibunya untuk menyekolahkannya sampai sekarang. Ia pun tidak pernah bermain-main dengan sekolahnya. Harapnnya selaras dengan harapan kedua orang tuanya menjadi sarjana dan menaikkan derajat kedua orang tuanya. Itu adalah mimpinya sedari dulu, ia ingin melihat kedua orang tuanya menyambutnya dengan pakaian toga lengkap lalu mengabadikan momen itu dalam satu pigura. Selama ini keluarga mereka tidak pernah memiliki foto keluarga dan foto keluarga disaat momen wisudanya adalah harapan terbesar Wati yang harus ia wujudkan. Menjadi seorang sarjana, sarjana kelapa.

Berita Lainnya

Index