Ibarat yang Bermateri Lawan yang Gak Bermateri, Sama-sama Bisa Mati

Ibarat yang Bermateri Lawan yang Gak Bermateri, Sama-sama Bisa Mati

"Pemikiran gue: loe punya duit, loe punya kuasa...” begitulah kalimat pembuka obrolan dua orang ngab-ngaban yang sedang bertebaran di timeline medsos saya. Dengan ciri yang satu gondes dan yang satunya potongan pendek di tangan kanannya membawa rokok sak-ler. Mungkin juga ada sepasang kopi di meja. Khas obrolan ndakik-ndakik!

Tapi saya sedang tidak membahas konten ini. Lagian siapa pun boleh ngomongin apa pun. Punya duit atau enggak, saya tidak punya kuasa buat ngelarang. Karena menurut saya kekuasaan tertinggi cuma milik Tuhan. Mau orang yang bermateri atau pun gak bermateri, gak ada yang bisa ngelawan kuasa-Nya dengan perantara mekanisme alam. Salah satunya adalah kematian. 

Setiap makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian. Tak terkecuali kita para manusia. Entah apa pun itu penyebabnya (insiden, penyakit, geger geden, atau wis pancen wayahe)

Sebagian besar dari kita juga mempertanyakan kematian setara dengan mempertanyakan kehidupan. Pernah gak sih terpikir dampak apa yang bakal terjadi terhadap kehidupan setelah masing-masing dari kita gak ada? Lalu bagaimana kita memaknai kematian itu sendiri, kematian kita dan kematian orang-orang yang kita sayangi? 

Pada dasarnya alam akan berjalan seperti biasanya, jika salah satu dari kita mati. Tidak ada pengaruh berskala besar yang terjadi. Hanya lingkup kecil seperti orang terdekat atau orang yang bergantung kepada kita. Sisanya, ada saudara atau teman-teman yang menyampaikan belasungkawa. Rasa dukanya pun juga akan berangsur-angsur hilang dalam waktu tertentu tergantung tingkat kedekatan. Begitu pula sebaliknya. 

Mungkin ada sedikit pengecualian teruntuk orang-orang yang berada di hierarki tertinggi. Seperti pimpinan suatu negara, kerajaan, keagamaan, masyarakat adat atau pimpinan suatu pergerakan. Karena lingkar pengaruhnya lebih besar. 

Kematian memastikan terbukanya jalan dan ruang untuk wajah-wajah baru bisa berkembang. Bahwa setiap orang itu memang punya bagian atau peran tersendiri di dunia ini tapi itupun ada batasannya.

Sehebat apa pun Raja, Presiden, Jenderal, Ulama, Paus, Tetua Adat, Direktur atau jenis pimpinan-pimpinan lainnya, mereka itu hanya akan hebat pada masanya. Apalagi perangkat-perangkat di bawahnya yang posisinya lebih umum dan sangat terbuka dengan reshuffle. Maka diperlukan jatah untuk promosi bagi yang lebih muda, yang akan membawa pembaruan yang signifikan dengan pertumbuhan. Karena tantangan-tantangan yang dihadapi juga akan selalu berbeda setiap masanya. 

Kematian memperbarui birokrasi 

Bayangin juga misal perangkat-perangkat di kantor Kelurahan, Kecamatan, hingga Balai Kota, orangnya itu-itu terus dari jaman baheula. Urusan birokrasi paling sederhana kaya bikin KTP akan selalu bikin gondok, dan bisnis fotokopi sepertinya masih akan prospek satu abad lagi, wah... 

Beberapa waktu yang lalu saya sedikit kaget melewati kantor Kecamatan di daerah saya, keadaannya sedang hancur dan rata dengan tanah. Sekilas sempat mengira kena musibah dan agak khawatir dengan orang-orang yang biasa ada di dalamnya, eh ternyata bangunan itu akan diperbarui. Dalam benak saya terbesit, percuma bangunan baru kalau orang-orang didalamnya masih didominasi bapak-bapak menjelang sepuh yang dulu bikin tanggal lahir saya dan adik di kartu keluarga jadi kewolak-walik. Bolak-balik pula ngurusnya, dari Kecamatan maupun Balai kota saling lempar, njlimet!!

Tapi ya sudah, mungkin memang sudah waktunya direstorasi, dan memang ada dananya. Toh rakyatnya banyak yang kaya, jadi pajak yang berkumpul melimpah. Sebagai warga negara yang baik saya hanya cukup berdoa; semoga seiring dengan pembangunan yang baru juga diikuti kebaruan dalam lini-lini lainnya. Mas-mas & mbak-mbak yang magang bisa segera mengaktualisasi diri jadi ujung tombak di birokrasi. Supaya penyegaran teknologi, sistem dan pelayanan bisa terwujud. 

Untungnya tidak ada manusia yang sejauh ini bisa menentang mekanisme alam. Termasuk bapak-bapak terhormat tadi yang jam kerjanya beriringan dengan habisnya dua bungkus rokok samsu. Seperti rokok yang memerlukan api agar bisa menyala dan api yang membutuhkan oksigen agar bisa bertahan. Namun api beserta oksigen itu pula yang menghabisi si batang rokok. Bagaimana dengan manusia? Untuk bisa bernapas, manusia harus menghirup oksigen. Tetapi oksigen pulalah dengan proses oksidasinya menyebabkan sel-sel dalam tubuh manusia menua dan akhirnya mati. Diakui atau tidak, manusia tunduk kepada alam. 

Antroposentrisme vs Ekosentrisme 

Secara hakikat manusia itu lahir tidak membawa apa-apa. Segala yang manusia miliki, sebenarnya jika dirunut pastilah berasal dari alam juga. Bahasa halusnya mengeksplorasi dan mengelola. Namun karena kerakusan manusia dari masa ke masa selalu berlipat ganda. Lebih cocok disebut mengambil, mengeksploitasi, mengeruk dan merampas. Jika yang dilakukan lebih parah, bahkan bisa disebut membunuh dan memperkosa. Karena tanpa pertimbangan ekologis, alam menjadi mati dan akan memperluas kematian-kematian yang berikutnya. Bahkan secara tidak langsung, kematian peradaban manusia itu sendiri.

Apalah artinya menang-kalah. Apalah artinya semua perdebatan dan pertandingan. Bilamana hanya berkutat diantara eksistensi manusia versus eksistensi manusia. Antroposentrisme menjadi paradigma yang mendominasi. Manusia yang menjadi pusat, sedangkan alam hanyalah objek. Dibandingkan kesadaran ekosentrisme, bahwa alam beserta seisinya menjadi subyek-subyek yang memiliki nilai setara, saling berkaitan dan utuh. 

Banyak orang yang mati-matian demi materi dengan merusak alam. Tapi sedikit yang mati-matian demi keberlangsungan alam. Tanpa sadar bahwa alam selalu untuk mencari keseimbangannya. Alam sanggup merestorasi dirinya sendiri, bahkan bila sebagian manusia harus mengalami kematian. Berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor , gunung meletus dan lain sebagainya adalah contoh dialektika alam untuk menemukan keseimbangan. 

Bagi alam, kematian itu mengubah sesuatu. Kematian bisa menjadi kehidupan baru. Memberi kesempatan termasuk arah dan cara bagaimana manusia menjalani hidup. Tapi kalau masih ngeyel. Pelajaran dari alam tentu akan lebih dahsyat lagi. Barangkali jika alam punya bahasa yang sama dengan manusia. Alam bakal ngomong “tai, loe ngeremehin gue"

Berita Lainnya

Index